Cari Artikel

    • ONLINE

      Rabu, 10 November 2010

      jejak arkeologi Islam di Idonesia

      jejak Arkeologi Islam

      BUKTI ARKEOLOGI BERMANFAAT UNTUK MEREKONSTRUKSI DAN MENGETAHUI KEDATANGAN ISLAM DI TANAH AIR.

      Bukti arkeologi meninggalkan jejak. Termasuk, jejak untuk menyusuri awal agama Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, antara abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Arkeolog, Prof Dr Uka Tjandrasasmita, menegaskan pentingnya bukti-bukti arkeologi. Dalam bukunya, Arkeologi Islam Nusantara, Uka mengungkapkan, data-data arkeologi baik berupa makam-makam, batu nisan, pecahan keramik, ragam hias, maupun arsitektur keraton merupakan material yang penting sebagai sumber sejarah.

      Jejak Arkeologi Islam

      BUKTI ARKEOLOGI BERMANFAAT UNTUK MEREKONSTRUKSI DAN MENGETAHUI KEDATANGAN ISLAM DI TANAH AIR.

      Bukti arkeologi meninggalkan jejak. Termasuk, jejak untuk menyusuri awal agama Islam masuk ke Indonesia. Yaitu, antara abad ke-7 hingga ke-8 Masehi. Arkeolog, Prof Dr Uka Tjandrasasmita, menegaskan pentingnya bukti-bukti arkeologi. Dalam bukunya, Arkeologi Islam Nusantara, Uka mengungkapkan, data-data arkeologi baik berupa makam-makam, batu nisan, pecahan keramik, ragam hias, maupun arsitektur keraton merupakan material yang penting sebagai sumber sejarah.

      Semua itu bisa dimanfaatkan untuk mengetahui maupun merekonstruksi bagaimana kedatangan Islam ke Tanah Air. Misalnya, makam yang berada di Tanah Air, memiliki persamaan tulisan dengan makam Islam yang ada di Gujarat, India.

      Persamaan tersebut terjadi pada makam Malik Ibrahim yang bertahun 1419 H di Gresik, Jawa Timur dan makam Samudra Pasai yang bertahun 882 H. Makammakam yang ada di Gujarat dan Tanah Air juga memiliki bahan baku yang sama, yaitu batu pualam. Dengan adanya persamaan tersebut, bisa disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang aktif. Terutama, hubungan dagang antara Gu jarat, Samudra Pasai, dan Jawa Timur. Melalui perdagangan, lahirlah interaksi antara penduduk Tanah Air dan para pedagang Muslim dari Gujarat.

      Melalui interaksi itulah, para pedagang Muslim dari Gujarat tak hanya melakukan aktivitas dagang, tetapi juga menyebarkan ajaran agama Islam di Tanah Air. Menurut catatan sejarah, baik yang bersumber dari hikayat Babad Tanah Jawi, Babad Tuban, maupun Babad Cirebon dikisahkan bahwa para penduduk Tanah Air, memiliki anggapan bahwa pedagang-pedagang itu memiliki kedudukan yang tinggi.

      Sebab, para pedagang baik dari Gujarat maupun Arab, dianggap sebagai orang yang memiliki banyak harta atau materi. Sehingga, mereka disegani. Banyak pula, penguasa di Tanah Air yang kemudian menikahkan putri-putri mereka dengan para pedagang Muslim tersebut.

      Pernikahan ini juga dilandasi oleh alasan sosial, yaitu semakin meningkatnya prestise, derajat, dan kekuasaan mereka. Dalam Babad Cirebon, terdapat kisah Sunan Gunung Jati menikah dengan Putri Kawunganten.

      Sedangkan di dalam Babad Tuban, seorang pria berasal dari Arab, yang disebut dalam babad tersebut bernama Syekh Ngabdurahman menikah dengan Putri Ayu Teja. Dengan cara perdagangan serta pernikahan, Islam disebarluaskan di Tanah Air.

      Setelah Samudra Pasai mengalami Islamisasi, mereka juga ikut melakukan gerakan Islamisasi ke wilayah-wilayah lain, termasuk Kerajaan Malaka di Malaysia. Hal ini terbukti dari adanya persamaan batu nisan antara raja-raja di Malaka dan makam keluarga Kerajaan Samudra Pasai.

      Rupanya, aktivitas penyebaran agama Islam di Indonesia melalui Kerajaan Samudra Pasai cukup luas. Hal ini terlihat dari adanya makam Syekh Said di Patani yang berasal dari wilayah Samudra Pasai. Dari beragam penemuan arkeologi berupa batu nisan, dapat diketahui peran Samudra Pasai.

      Dengan demikian, kerajaan tersebut berperan tak hanya menyebarkan agama Islam di Tanah Air, tetapi juga menyebarkan Islam ke luar negeri seperti Malaysia dan Patani, Thailand. Jejak arkeologi masuknya Islam juga diketahui melalui arsitektur bangunan. Uka dalam Arkeologi Islam Nusantara, melakukan kajian terhadap arsitektur bangunan untuk menelusuri masuknya Islam ke Tanah Air.

      Salah satu penelusuran, dilakukan terhadap kompleks makam Sunan Gunung Jati beserta keturunannya, yang menjadi penguasa di Cirebon. Terdapat sembilan tingkat bangunan di kompleks pemakaman tersebut. Tingkat paling atas merupakan makam Sunan Gunung Jati. Sembilan tingkat ini, seperti menyiratkan simbol bahwa Islam di Tanah Air disebarkan oleh anggota Wali Songo lainnya.

      Selain Sunan Gunung Jati, ada anggota Wali Songo lainnya, seperti Sunan Gunung Muria, Sunan Kalijogo, Sunan Ampel, Sunan Kudus, Sunan Gunung Jati. Sementara di Keraton Kasepuhan Cirebon, ada sebuah kereta kencana yang diberi nama Singa Barong. Kereta kencana tersebut dibuat pada 1649. Lalu, di Keraton Kanoman Cirebon terdapat kereta kencana yang bernama Paksi Naga Liman yang dibuat sekitar tahun 1428 masehi. Kedua benda tersebut juga menampilkan simbol-simbol.

      Bentuk kereta itu, sepertinya ingin menggambarkan kendaraan yang digunakan oleh Nabi Muhammad SAW, yaitu Buroq dalam melakukan perjalanan Isra dan Miraj, saat Nabi diperintahkan oleh Allah SWT untuk menunaikan ibadah shalat.Selain menggunakan penemuanpenemuan arkeologi, Uka mengkaji masuknya Islam di Tanah Air, dengan menggunakan berbagai jenis naskah sejarah, baik yang ditulis di Tanah Air maupun yang ditulis oleh orang-orang asing.

      Menelisik sejarah masuknya Islam ke Tanah Air melalui jalur perdagangan, Uka melihat berita dari Cina, Arab, Persia, dan negeri Timur Tengah lainnya. Diketahui bahwa pada abad ke-8, pedagang Muslim telah memiliki jaringan perdagangan internasional lewat Selat Malaka.
      Hikayat Hitu, Banjar, Sajarah Melayu, Hikayat Raja-raja Pasai, serta Sajarah Banten, mengisahkan bagaimana kerajaan Islam memiliki jaringan perdagangan regional maupun internasional. Dan, kegiatan ini memiliki peran ganda.

      Selain demi kepentingan ekonomi, kegiatan perdagangan tersebut juga digunakan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam. Dan, ternyata tak hanya Kerajaan Samudra Pasai, yang berperan dalam penyebaran ajaran agama Islam.

      Ada Kesultanan Islam di Banten yang juga memiliki peran itu, yang berkuasa dari abad ke-16 hingga abad ke-19. Sejumlah naskah, seperti Sajarah Banten, Babad Cirebon, Babad Tanah Jawi, dan Carita Purwaka Caruban, mengisahkan keberadaan kesultanan tersebut.

      Menurut keterangan di dalam Sajarah Banten, Sunan Gunung Jati meminta anaknya mendirikan sebuah kota di pantai. Pada waktu itu, dia juga meminta anaknya agar tidak memindahkan watu gigilang, sebuah batu penanda. Dari informasi tersebut, bisa diketahui tata letak Kota Banten pada masa itu. Sedangkan untuk mengetahui perkembangan Kota Banten lebih lanjut, Uka mengguna kan informasi yang berasal dari naskah orang Belanda, yaitu Willem Lodewiycksz.

      Lodewiycksz membuat sketsa Kota Banten yang menggambarkan letak keraton, alun-alun, masjid, tempat tinggal para kaum ningrat, serta pasar. Di sisi lain, Uka juga men dapatkan gambaran perkembang an Banten dari berita, arsip, maupun catatan harian orang-orang asing yang pernah menyaksikan per adaban di Banten. dyah ratna meta novia
      REPUBLIKA, Rabu, 21 Oktober 2009 pukul 01:48:00
      ISLAM Damai

      ISLAM Datang dengan Damai

      Islam masuk ke Indonesia dengan cara damai. Paling tidak, hal ini dibuktikan dengan adanya simbolsimbol Hindu yang terdapat di dalam ornamen masjid. Sebelum Islam masuk ke Tanah Air, memang banyak penduduk yang memeluk agama Hindu dan animisme serta dinamisme.

      Direktur Peninggalan Purbakala Departeman Kebudayaan dan Pariwisata, Junus Satrio Atmojo, mengatakan peralihan agama mayoritas dari Hindu ke Islam berlangsung selama beberapa abad. Pada abad ke-8, agama Islam terlihat masih kurang diminati.

      Namun, pada abad ke-15, Islam mulai berkembang dengan pesat. Hal ini juga ditandai dengan peralihan kekuasaan dari Kerajaan Majapahit ke Kerajaan Demak. Menurut catatan sejarah, raja terakhir Majapahit yang bergelar Brawijaya sudah tidak mampu memimpin kekuasaan Majapahit.

      Hingga pada akhirnya, raja tersebut mempersilakan saudaranya yang telah memeluk Islam, Raden Patah, untuk mengambil alih kekuasaan yang ditandai dengan lahirnya Kerajaan Islam Demak. Lalu, akulturasi kebudayaan pun terjadi.

      Dalam sebuah mimbar yang ada di Masjid Sendang Dhuwur, terdapat motif Kala Merga yang merupakan motif gabungan antara Batara Kala dan Merga (kijang). Batara Kala merupakan perwujudan anak dari Dewa Siwa, yang cintanya ditolak oleh Dewi Uma. Lalu, ia berubah menjadi raksasa yang galak dan kasar. Namun, Batara Kala akhirnya dapat dijinakkan oleh Dewa Wisnu sehingga meskipun dia masih kasar, sebenarnya hatinya baik.

      Dari temuan arkeologi, motif Kala Merga biasanya digunakan untuk menghias pintu masuk tempat yang dianggap suci, termasuk candi-candi tempat peribadatan, juga di altar-altar utama punden berundak, seperti yang terdapat di Gunung Penanggungan.

      Namun, hiasan Kala Merga biasanya digambarkan secara tidak utuh. Motif Kala Merga berupa lengkung yang kedua ujungnya terdapat kepala kijang dan bagian tengah lengkungan, menyatu dengan kepala Batara Kala. Fungsi Kala Merga, menakut-nakuti orang jahat dan menghormati orang suci.
      Dalam konteks hiasan Kala Merga yang terdapat di mimbar Masjid Sendhang Dhuwur di Lamongan, motif Kala Merga sudah digayakan menjadi seperti motif tumbuh-tumbuhan. Sebab, di dalam agama Islam, terdapat larangan untuk menggambar makhluk yang bernyawa.

      Bagi orang awam, mereka pasti mengira itu hanya motif hiasan biasa. Padahal, itu adalah ukiran Kala Merga. Seniman yang mengukirkan motif tersebut bermaksud meninggikan dan menghormati pengguna mimbar, yakni imam masjid yang dianggap sebagai orang suci.

      Dengan demikian, Islam masuk ke Tanah Air dengan damai, salah satu caranya dengan melakukan akulturasi budaya seperti yang dilakukan oleh Wali Songo. Cara seperti itu membuat masih banyak sisa budaya Hindu, yang dimasukkan ke dalam budaya Islam di Tanah Air. dya

      0 komentar:

      Posting Komentar

      Popular Posts

      next page

      Subscribe To RSS

      Sign up to receive latest news