A. Kisah Nabi Ibrahim Dibakar
Raja Namrud kehilangan kesabarannya, rakyat disuruh mengumpulkan kayu bakar sebanyak-banyaknya untuk membakar Ibrahim. Setelah kayu bakar itu terkumpul bertimbun-timbun, maka Api unggun besar pun dibuatnya.
Tapi mereka merasa kebingungan sendiri, bagaimana caranya memasukkan Ibrahim ke dalam api yang sedang berkobar-kobar itu. Akan diantarkan sendiri oleh mereka tentu tidak mungkin, sebab mereka tidak mampu mendekati kobaran api besar itu dari jarak yang agak dekat. Kemudian Ibrahim di bakar di dalam api unggun yang berkobar-kobar itu dengan memasukkan Nabi Ibrahim ke dalam api dari jarak yang jauh dengan cara Ibrahim di letakkan di suatu tempat yang dapat dilentingkan seperti anak panah yang dapat di lentingkan dari jarak jauh ke arah sasaran yang dituju.
Merekapun merasa puas dan berkerumun menonton dari jauh peristiwa yang sangat mengerikan itu. Mereka mengira bahwa Nabi Ibrahim telah berakhir hidupnya dan merekalah yang menang dalam hal ini. Tetapi alangkah terkejutnya mereka sewaktu api sudah padam, kayu bakar sudah habis, Nabi Ibrahim keluar dari dalam api dengan selamat, bahkan sehelai rambut pun tak ada yang terbakar dan tak sedikitpun merasakan panasnya api tersebut. Allah berfirman kepada Api, sebagaimana tertulis dalam Al-Qur’an, “Hai api hendaklah dingin dan selamatkan Ibrahim!” (Al-Ambiya: 69).
Nabi Ibrahim selamat, ia merasakan api yang berkobar-kobar itu dingin saja.
B. Kisah Nabi Ibrahim Pindah ke Negeri Kan’an
Nabi Ibrahim mengajak ayahnya untuk cepat bertobat dan memeluk agama Allah, seperti tercantum di dalam AL-Qur’an, surah Maryam, ayat 41 – 45, “Sesungguhnya ia adalah Nabi yang benar. Ketika ia berkata kepada Bapaknya, ya Bapakku! mengapa engkau menyembah sesuatu yang tidak mendengar dan tidak melihat dan tiada bermanfaat kepada Engkau sedikitpun?” Ya Bapakku!, jangan engkau sembah setan, sesungguhnya Setan itu durhaka kepada Allah.
Ya Bapakku!, sesungguhnya aku takut kepada siksaan Allah yang akan menimpa engkau, maka engkau akan berteman dengan setan di dalam Neraka.”
Ayah Nabi Ibrahim menjawab, “Adakah engkau membenci kepada sesembahanku (patung-patung) ya Ibrahim?, ingatlah, jika engkau tidak berhenti menghina Tuhanku, niscaya aku akan melempar (menyiksa)-mu, dan enyahlah engkau dari sini selama-lamanya.” (Maryam: 46).
Karena negeri Babilon tidak aman lagi bagi Nabi Ibrahim maka ia memutuskan untuk pindah ke Syam (Palestina), bersama Luth yang kemudian juga menjadi Nabi, dan beberapa pengikutnya ia meninggalkan Babilon.
Namun tidak beberapa lama negeri Palestina diserang bahaya kelaparan dan penyakit menular. Ibrahim dan pengikutnya kemudian pindah ke Mesir.
Mesir waktu itu diperintah oleh Raja yang kejam dan suka berbuat seenaknya. Raja Mesir suka merampas wanita-wanita cantik walaupun wanita itu sudah bersuami.
Ketika Raja Mesir mendengar bahwa Sarah adalah perempuan yang cantik, maka Ibrahim dan Sarah dipanggil menghadap. Ibrahim berdebar, Raja Mesir memang mempunyai kebiasaan aneh, yaitu merampas istri orang yang berwajah cantik sekedar untuk menunjukkan betapa besar kekuasaannya. Tak seorangpun berani menghalangi perbuatannya.
Setelah menghadap raja Mesir. Ibrahim di tanya, “Siapakah perempuan itu?”
“Saudaraku” jawab Ibrahim, sengaja ia berbohong, sebab jika ia berkata terus terang, pasti ia akan dibunuh oleh Raja Mesir itu dan istrinya akan dirampas.
Nabi Ibrahim dan istrinya boleh tinggal di Istana. Pada suatu hari Sarah dapat menyembuhkan sakit Raja Mesir itu, yaitu sepasang tangan Raja itu mengatup rapat tidak dapat digerakkan. Atas jasanya itu Sarah kemudian diberi hadiah seorang budak perempuan bernama Hajar. Dan dengan ikhlas Hajar kemudian diberikan kepada Ibrahim untuk dijadikan isteri.
Di Mesir, Ibrahim dapat hidup tenteram dan makmur, hartanya melimpah ruah. Tapi justru ini menjadikan iri hati bagi penduduk asli Mesir. Maka kemudian Ibrahim memutuskan kembali ke Palestina.
Sejak saat itulah, Nabi Ibrahim hijrah ke Negeri Kan’an (Palestina), dan disanalah ia membina rumah tangga sampai mendapat keturunan. Nabi Ibrahim menikahi Siti Sarah, karena tidak mendapat keturunan, ia menikah lagi dengan Siti Hajar. Pernikahannya dengan Siti Hajar dianugrahi Allah seorang putra bernama Ismail.
Setelah Siti Sarah berusia lanjut, dia hamil. Lahirlah seorang putra yang diberi nama Ishak. Kelak Nabi Ishak mempunyai anak bernama Yakub. Menurut riwayat, keturunan Nabi Ishak selanjutnya adalah Nabi Musa. Keturunan dari Nabi Ismaillah yang kemudian menurunkan Nabi Muhammad SAW. Menurut silsilah, Nabi Ismail adalah kakek Nabi Muhammad yang kedua Puluh.
Istri pertama Nabi Ibrahim, Siti Sarah tinggal di Palestina. Sedangkan istri keduanya, Siti Hajar, dan putranya Ismail tinggal di Mekah. Karena itu Nabi Ibrahim kadang pergi ke Palestina, kadang tinggal di Mekah. Setelah Ismail besar, Ibrahim mengajaknya membangun Baitullah (Ka’bah) sesuai dengan perintah Allah SWT. Selanjutnya Ka’bah menjadi kiblat bagi umat Islam yang mendirikan salat.
C. Nabi Ibrahim dan Ujian Keimanan dari Allah
Suatu hari Nabi Ibrahim AS bermimpi diperintah Tuhan untuk menyembelih anaknya (Ismail). Beliau kemudian bermusyawarah dengan anak-istrinya (Siti Hajar dan Ismail) ia bertanya bagaimana pendapat keduanya tentang mimpi itu. Siti Hajar berkata, “Barangkali mimpi itu hanyalah permainan tidur belaka, maka dari itu janganlah engkau melakukannya. Akan tetapi apabila mimpi itu merupakan wahyu Tuhan yang harus ditaati, maka saya berserah diri kepada Allah yang sangat pengasih dan penyayang kepada hambanya.”
Selanjutnya Ismail berkata, “Ayahku! Apabila ini merupakan wahyu yang harus kita taati, maka saya rela untuk disembelih.”
Ketiga orang mulya tersebut ikhlas melakukan perintah Tuhannya. Maka pada keesokan harinya dilakukanlah perintah itu.
Hal ini banyak diketahui oleh banyak orang, mereka menyangka, bahwa Nabi Ibrahim sudah gila, karena itu dia harus di bunuh, jika tidak, pasti kita semua nantinya juga akan disembelihnya.
Ismail usul kepada ayahnya: “Sebaiknya saya disembelih dalam keadaan menelungkup, tetapi mata ayah hendaklah di tutup. Kemudian ayah harus dapat mengira-ngira arah mana pedang yang tajam itu ayah pukulkan, supaya tidak meleset dan tepat mengenai leher saya.”
Nabi Ibrahim AS menerima dan melaksanakan usul itu, dengan mengucapkan kalimat atas nama Allah, seraya memancungkan pedangnya yang tajam itu ke leher anaknya.
Menyemburlah darah segar ke sekujur tubuh Nabi Ibrahim, ia gemetar, membayangkan anaknya telah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Namun alangkah terkejut dan gembiranya dia setelah membuka kain penutup matanya, apa yang terjadi? Ternyata anaknya Ismail selamat tidak tersembelih, tidak kurang suatu apapun, malahan seekor Kibas yang tersembelih. Padahal tadinya tidak ada seekor kibas di sekitar tempat itu, dan Ismail berdiri tepat disamping nya.
Dengan memuji kebesaran dan kekuasaan Allah, mereka berdua berangkulan, karena mereka bersyukur telah dapat melaksanakan perintah tuhannya.
Setelah itu, mereka pulang ke rumahnya, di sepanjang jalan mereka bertakbir dan bertasbih sambil memuji kebesaran Allah, tuhan yang menjadikan alam semesta alam ini.
Siti Hajar mendengar suara takbir dan tasbih dari jauh yang semakin lama semakin dekat, ternyata suara itu adalah suara suami dan anaknya. Betapa terkejutnya ia sambil berlari menyongsong suami dan anaknya itu. Ketiga orang itu bukan main senangnya, karena telah dapat melaksanakan ibadah dan darma baktinya kepada Tuhan. Orang-orang yang tadinya berniat jahat untuk membunuh Ibrahim yang di kiranya sudah gila itu, akhirnya tidak jadi dilaksanakan.
E. Kisah Haji dan Khitan di Masa Nabi Ibrahim
Sesudah Ka’bah berdiri, Nabi Ibrahim menerima perintah dari Allah SWT, agar memanggil kaum muslimin untuk menunaikan ibadah haji, mengunjungi Baitullah, baik yang dekat dengan Ka’bah maupun yang jauh, sesuai surah Al-Hajji ayat 27, “Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki dan mengendarai unta yang kurus, yang datang dari segenap penjuru yang jauh.”
Pada saat berusia 90 tahun (sebagian riwayat menjelaskan pada usia 80 tahun), Nabi Ibrahim menerima perintah Khitan, maka Nabi Ibrahim pun mengkhitan dirinya. Sedang Ismail di khitan pada usia 13 tahun (dalam kitab Injil Barnabas diterangkan, dulu Nabi Adam AS, berdosa setelah memakan buah yang dilarang Allah, buah Khuldi, setelah bertobat, dan diampuni dosanya oleh Allah, Nabi Adam bernazar, akan memotong sebagian dagingnya, kemudian Malaikat menunjukkan bagian daging yang dipotong, yakni pada bagian yang dikhitan). Selanjutnya khitan menjadi syariat agama Islam.
F. Nabi Ibrahim Memohon Supaya Diperlihatkan Bagaimana Allah Menghidupkan Orang Mati
Sewaktu Nabi Ibrahim berdoa kepada Allah supaya diperlihatkan kepadanya bagaimana cara menghidupkan orang mati, maka Allah berfirman kepadanya, “Hai Ibrahim apakah engkau belum percaya kepada kekuasaan-Ku?”
Ibrahim menjawab, “Maha Suci, Tuhanku! Permohonanku ini supaya lebih mendekatkan diriku kepada-Mu, semoga doaku ini dikabulkan.”
Allah SWT mengabulkan doa Nabi Ibrahim, bagaimana Allah memperlihatkan dan cara menghidupkan sesuatu yang sudah mati. Hal ini dapat dilihat dalam Surat Al-Baqarah ayat 260:
Ingatlah ketika Ibrahim berkata, “Hai Tuhanku, perlihatkan kepadaku bagaimana Engkau dapat menghidupkan orang mati!” Allah berfirman, “Tiadakah engkau percaya kepadaku?”
Sahut Ibrahim, “Ya, aku percaya kepada Tuhanku, tetapi hal ini buat meneguhkan hatiku.”
Allah berfirman, “Ambillah empat ekor burung, hampirkan kepadamu (dan potong-potonglah ia), kemudian masing-masing di letakkan diatas bukit sebagian (dari burung yang telah di potong-potong itu), setelah itu panggillah burung-burung itu, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan segera. Ketahuilah sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Bijaksana.”
Allah SWT memperlihatkan kekuasaannya kepada Nabi Ibrahim sehingga keempat burung yang sudah disembelih dan dihancurkan tulang-tulangnya itu dan diaduk jadi satu, sehingga sulit ditentukan satu persatunya nama-nama dan bagian-bagian anggota burung itu.
Potongan-potongan itu juga dibagi-bagi menjadi beberapa tumpukan yang diletakkan di atas bukit-bukit yang saling berjauhan. Namun setelah dipanggil nama-nama burung itu satu persatu, maka berlari-larilah daging, tulang, bulu-bulunya dari bukit yang satu ke bukit yang lain untuk menjadi burung utuh kembali sebagaimana semula. Dan burung itu terbang menuju ke arah Nabi Ibrahim.
G. Akhir Hayat Raja Namrud
Manusia keji seperti Namrud, atas kehendak Allah, mengakhiri hayatnya dengan menyedihkan. Bagaimana Namrud ingkar atas kekuasaa Allah di riwayatkan dalam bentuk dialog antara Raja itu dengan Nabi Ibrahim.
Suatu hari Raja Namrud berdebat hebat dengan Ibrahim. “Ibrahim, siapakah yang menjadikan alam ini?” tanya Raja Namrud.
“Yang menjadikan alam ini adalah Dzat yang dapat menghidupkan dan yang dapat mematikan, dan berkuasa atas segala-galanya,” jawab Nabi Ibrahim tangkas.
“Aku juga berkuasa,” sahut Raja Namrud. “Barangsiapa yang aku perintahkan untuk membunuhnya, matilah dia, dan apabila aku tidak bunuh, hiduplah dia.”
Nabi Ibrahim segera menukas, “Tuhan kami adalah yang menerbitkan matahari dari sebelah timur, maka cobalah engkau putar terbitnya dari sebelah barat!”
Mendengar perkataan Nabi Ibrahim, tercenganglah Raja Namrud. Dia tidak dapat menjawab, namun ia tetap tak mau beriman. Akhirnya raja Namrud dan pengikutnya mendapat siksa. Allah mengirimkan nyamuk yang sangat banyak untuk menyerang. Ternyata kekuasaan sang Raja yang begitu hebat, tak ada artinya saat menghadapi makhluk kecil itu. Pasukan nyamuk menyerbu lubang telinga sang Raja sampai akhirnya ia mati kesakitan.
Sumber Kisah Alkisah Nomor 11 / 8 – 21 Desember 2003
0 komentar:
Posting Komentar